Sejarah di Balik Alasan Pemilihan Lokasi Pura Parahyangan Jagadkartta

Di balik kabut tipis yang menyelimuti kaki Gunung Salak, di atas hamparan hijau hutan tropis Bogor, berdiri sebuah pura megah yang namanya perlahan-lahan mulai dikenal tak hanya di kalangan umat Hindu, tapi juga oleh pencari ketenangan spiritual lintas keyakinan: Pura Parahyangan Agung Jagadkartta.

Sekilas, pura ini tampak seperti tempat ibadah Hindu Bali pada umumnya—megah, sakral, dan dikelilingi patung serta bangunan khas pura. Tapi siapa sangka, pemilihan lokasinya bukanlah kebetulan. Ia berdiri di atas tanah yang diyakini sebagai bekas Keraton terakhir Prabu Siliwangi, raja besar Kerajaan Pajajaran.

🕉️ Key Takeaways

  • 🏔️ Lokasi pura dipilih karena memiliki nilai sejarah, spiritual, dan filosofis yang sangat kuat.
  • 👑 Dikenal sebagai bekas tempat moksa Prabu Siliwangi, raja legendaris Sunda yang dikenal adil dan sakti.
  • 🌿 Terletak di kaki Gunung Salak, lokasi ini dianggap sebagai poros energi spiritual tanah Pasundan.
  • 🙏 Pura ini dibangun untuk menghormati leluhur dan sebagai simbol kebangkitan Hindu Dharma di tanah Jawa.
  • 🧭 Pemilihan tempat dilakukan dengan berbagai pertanda spiritual dan proses meditatif oleh para sesepuh.

Kilas Balik: Prabu Siliwangi dan Jejak Kerajaan Pajajaran

Sebelum membahas kenapa pura ini dibangun di kaki Gunung Salak, kita perlu mengenal sosok Prabu Siliwangi. Ia bukan sekadar tokoh mitos, tapi nyata tercatat dalam sejarah sebagai raja besar Kerajaan Sunda-Pajajaran pada abad ke-15.

Beliau dikenal sebagai pemimpin yang bijak, adil, dan berwawasan spiritual tinggi. Dalam berbagai cerita rakyat, Prabu Siliwangi disebut tidak pernah wafat secara jasmani, melainkan melakukan moksa—menghilang secara spiritual bersama pasukannya ke alam gaib di Gunung Salak.

📜 Di sinilah mitos dan sejarah menyatu. Lokasi tempat beliau diyakini moksa inilah yang akhirnya menjadi tapak suci pendirian Pura Parahyangan Agung Jagadkartta.

Alasan Spiritual: Energi Sakral Gunung Salak

Gunung Salak sejak lama dikenal sebagai salah satu gunung paling mistis di Indonesia. Bukan karena cerita seram, tapi karena energi spiritualnya yang sangat kuat. Banyak praktisi meditasi, rohaniawan, hingga peziarah yang datang ke sini untuk “bersemedi”, mencari ketenangan, atau bahkan petunjuk hidup.

“Kaki Gunung Salak adalah poros energi. Kami merasakan getaran kuat, terutama saat matahari terbit. Tempat ini bukan cuma indah secara alam, tapi juga tinggi secara spiritual,” ujar I Gusti Ngurah Surya, salah satu pemuka Hindu yang terlibat dalam pendirian pura.

Pemilihan Lokasi Lewat Petunjuk Gaib dan Meditasi

Berbeda dari pembangunan proyek biasa, pemilihan lokasi pura tidak hanya berdasarkan survei fisik. Dalam tradisi Hindu dan spiritualitas Nusantara, lokasi tempat suci dipilih melalui pertanda, mimpi, dan meditasi mendalam.

🧘‍♂️ Para sesepuh Hindu Jawa Barat dan Bali yang tergabung dalam Parisada Hindu Dharma melakukan puja, meditasi, dan tirta yatra (ziarah suci) untuk meminta restu leluhur. Dalam beberapa upacara, muncul “wangsit” bahwa tanah di kaki Gunung Salak adalah tempat yang paling tepat.

Dan benar saja, setelah digali lebih dalam—baik secara sejarah maupun energi—lokasi ini diyakini sebagai tempat terakhir Prabu Siliwangi menjejakkan kaki sebelum moksa.

Tabel Fakta Sejarah Lokasi Pura Jagadkartta

ElemenKeterangan
LokasiKaki Gunung Salak, Ciapus, Bogor, Jawa Barat
Dikenal SebagaiTempat moksa Prabu Siliwangi
Makna “Jagadkartta”Jagad = dunia, Kartta = pusat, artinya pusat peradaban dunia spiritual
Arti spiritual lokasiTitik kekuatan energi alam Pasundan
Pendirian pertamaAwal 1990-an oleh umat Hindu Jawa Barat dan Bali
Tujuan pembangunanTempat persembahyangan umat Hindu dan penghormatan terhadap leluhur Sunda

Gunung Salak dan Kepercayaan Lokal: Harmoni Tradisi

Yang menarik, Gunung Salak bukan hanya dianggap sakral oleh umat Hindu. Masyarakat Sunda yang masih memegang teguh kepercayaan leluhur juga menyebut tempat ini sebagai wilayah keramat.

⛰️ Dalam budaya Sunda Wiwitan, wilayah ini dianggap sebagai pintu gerbang ke alam roh, tempat para leluhur bersemayam. Karena itulah, saat umat Hindu mendirikan pura di sini, tidak ada penolakan dari masyarakat adat. Justru, banyak tokoh adat mendukung karena merasa nilai-nilai spiritualnya sejalan.

“Di sini, semua menyatu. Hindu, Sunda Wiwitan, bahkan Islam yang berjiwa lokal. Yang penting saling hormat dan jaga kesucian,” kata Mang Yayat, juru kunci salah satu situs keramat tak jauh dari lokasi pura.

Simbol Kebangkitan Hindu Dharma di Tanah Jawa

Setelah masa kerajaan Hindu-Buddha berakhir di Nusantara, banyak peninggalan spiritual yang tertutup oleh waktu. Namun sejak 1990-an, ada gerakan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Hindu Dharma di tanah Jawa, terutama di tanah Pasundan yang pernah berjaya di masa Pajajaran.

Pura Jagadkartta bukan hanya tempat sembahyang, tapi juga simbol kebangkitan identitas spiritual. Ia mengingatkan bahwa ajaran leluhur tak pernah benar-benar hilang—hanya menunggu untuk ditemukan kembali.

Arsitektur yang Menyatu dengan Alam

Kalau kamu pernah datang ke sini, kamu akan sadar bahwa pura ini seperti tumbuh dari tanah. Tidak menjulang mencolok, tapi tenang dan menyatu.

🔺 Meru (menara bertingkat) berdiri menghadap gunung
🐉 Gapura split gate (candi bentar) membelah kabut pagi
🛕 Pelinggih dibuat menghadap titik-titik energi alam

Semua ditata sesuai Tri Mandala, prinsip ruang dalam Hindu: nista mandala (luar), madya mandala (tengah), utama mandala (paling suci). Bahkan pemilihan batu dan letak kolam pun mempertimbangkan keseimbangan alam.

Kenapa Tempat Ini Harus Dijaga dan Dihormati

Pura Jagadkartta bukan tempat wisata. Meski banyak pengunjung yang datang karena keindahannya, ini tetaplah tempat suci. Maka penting untuk:

📿 Datang dengan niat baik dan pakaian sopan
📷 Tidak selfie di area utama sembahyang
🙏 Hormati umat yang sedang berdoa atau melukat
🧘 Jangan gaduh, karena tempat ini adalah ruang keheningan

“Ini bukan tempat untuk pamer outfit, tapi tempat untuk merendahkan hati,” ujar seorang pemangku saat ditanya soal maraknya wisatawan yang datang hanya untuk foto.

Sering Ditanya: Apakah Semua Orang Boleh Masuk?

Ya. Pura ini terbuka untuk semua orang, asalkan kamu menghargai kesuciannya. Bahkan umat dari luar Hindu pun sering datang untuk sekadar meditasi, refleksi diri, atau mencari ketenangan.

📍 Tapi ingat, ini bukan tempat piknik. Ini adalah tempat pemujaan, tempat berziarah, tempat yang menjadi “jembatan” antara manusia dan alam semesta.

Kata Mereka yang Sudah Datang

“Saya bukan Hindu. Tapi waktu duduk di batu dekat gerbang utama pura, rasanya tenang banget. Seperti didengar semesta.”
– Adit, pelancong dari Jakarta

“Bukan hanya indah, tapi terasa banget energi spiritualnya. Kalau hati lagi galau, ke sini seperti dibersihkan.”
– Rini, aktivis lingkungan dan penganut kepercayaan lokal

FAQ – Pertanyaan yang Sering Diajukan

❓ Apakah lokasi pura bisa diakses kendaraan?

Ya. Jalan menuju pura bisa dilalui motor dan mobil, walau sedikit menanjak di bagian akhir.

❓ Apa harus pakai pakaian khusus?

Idealnya memakai pakaian sopan atau kain (kamen) dan selendang jika ingin masuk ke utama mandala. Bisa menyewa di pintu masuk.

❓ Apakah ada biaya masuk?

Tidak ada biaya masuk. Tapi donasi sukarela sangat dihargai untuk perawatan pura.

❓ Bolehkah non-Hindu berkunjung?

Boleh. Asal menjaga kesopanan dan tidak mengganggu aktivitas ibadah.

❓ Kapan waktu terbaik berkunjung?

Pagi hari saat kabut masih turun. Suasana sangat hening dan sakral.

-
people visited this page
-
spent on this page
0
people liked this page
Share this page on
Share the Post:

Related Posts

Scroll to Top

Booking Form

Fill out the form below, and we will be in touch shortly.
Book Room Hotel