Polemik Kebijakan Gas Elpiji 3 Kg, Warung Pengecer Terancam
Anggota DPRD Kota Sukabumi, Danny Ramdhani, mengkritik kebijakan pemerintah terkait distribusi gas elpiji 3 kg yang kini hanya bisa dibeli di pangkalan resmi Pertamina mulai 1 Februari 2025. Menurutnya, aturan ini justru menyulitkan masyarakat kecil, terutama pemilik warung pengecer yang selama ini menjadi solusi praktis bagi warga dalam mendapatkan gas melon.
“Kebijakan ini bisa mempersulit masyarakat. Warung pengecer sangat membantu karena masyarakat bisa membeli gas kapan saja tanpa harus ke pangkalan yang punya jam operasional terbatas,” ujar Danny kepada Radar Sukabumi, Minggu (2/2).
Pemerintah berdalih bahwa harga gas elpiji di pangkalan lebih murah dibanding pengecer. Namun, Danny menilai kebijakan ini tidak mempertimbangkan realitas di lapangan, terutama bagi warga yang lokasinya jauh dari pangkalan.
Harga Lebih Murah, Tapi Biaya Transportasi Membengkak
Danny menyoroti bahwa meskipun harga gas elpiji di pangkalan resmi lebih murah, biaya tambahan untuk transportasi bisa membuat pengeluaran masyarakat justru lebih besar.
“Misalnya, harga gas di pangkalan Rp18.000, tapi kalau masyarakat harus naik ojek yang tarifnya Rp10.000 untuk pulang-pergi, total biaya yang dikeluarkan jadi Rp28.000. Ini justru lebih mahal dibanding beli di warung yang buka hingga malam,” jelasnya.
Selain itu, pangkalan elpiji tidak buka 24 jam, berbeda dengan warung pengecer yang banyak beroperasi hingga dini hari. Kondisi ini berpotensi menyulitkan masyarakat, terutama saat situasi darurat, seperti ketika kehabisan gas di tengah malam atau saat sahur di bulan Ramadan.
Pemerintah Dinilai Mengada-ada Soal HET dan Regulasi Warung

Menurut Danny, kebijakan ini terkesan dipaksakan dengan alasan menurunkan harga eceran tertinggi (HET) dan menertibkan administrasi warung agar menjadi pangkalan resmi. Namun, ia menilai bahwa masyarakat sebenarnya sudah terbiasa dengan harga di pengecer yang sedikit lebih tinggi karena lebih praktis dan mudah diakses.
“Pemerintah kok malah mengutak-atik sesuatu yang selama ini sudah berjalan baik dan tidak ada keluhan? Kalau memang tujuannya agar HET rendah, toh masyarakat sudah memaklumi perbedaan harga di pengecer,” tegasnya.
Selain itu, jika alasan pemerintah adalah menjadikan warung sebagai pangkalan resmi, menurutnya tidak seharusnya dilakukan dengan skema yang menyulitkan dan berdampak pada hilangnya mata pencaharian bagi warung kecil dan pelaku usaha mikro.
“Kebijakan ini bukan hanya menyulitkan pemilik warung kecil, tetapi juga rakyat kecil yang menjadi konsumennya. Entah kenapa, pemerintah sepertinya suka sekali membuat aturan yang malah menyusahkan rakyat,” pungkas Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Sukabumi tersebut.